skip to main  |       skip to sidebar                                                                                     
       
Sabtu, 12 Juli 2008
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMIK PENDIDIKAN DEMOKRASI
PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMATIK PENDIDIKAN DEMOKRASI
1.) Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pendidikan  kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara  substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang  cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat  ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta  praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima  status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata  kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang  pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program  pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang  dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan  Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh  Pemerintah sebagai suatun crash program. Kelima, sebagai kerangka  konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait,  yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai  pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan  keempat. Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah,  pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif,  baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas  menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya  terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics,  pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS.
Hal  itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai.  Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan  yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian  disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran  Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran  Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman  belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau  "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi  pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a,  1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I  SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus  dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan  penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989  tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain  Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan  Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis,  dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum  persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan  Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan  pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas  dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam  Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang  dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran  yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn  yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998)  itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka  berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis  konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Krisis  atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat  konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics  tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun  1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa  pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam  bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang  diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil  menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai  penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang  tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari  Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya  perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak  artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari  penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya  semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai  socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan  metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu  paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan  dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Kini  pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti  dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai  demokrasi konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata  pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua,  yakni sebagai mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan  diwadahi oleh mata kuliah Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila  bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa mengenai Pancasila  sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan  kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah menjadi Pendidikan  Kewarganegaran, bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang  makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban warganegara  sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945.
Kedua  mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh  mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan  Kepribadian atau MKPK. Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan  disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan  program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru  mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP)  Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau  Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini.  Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidikan kewarganegaraan  dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program  pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan  kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini  memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik,  sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini  berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru  pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga  pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan  cenderung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset  dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu  sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan perhatian. Dalam status  keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh  lapisan masyarakat, Penataran P-4 mulai dari Pola 25 jam sampai dengan  Pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun  dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4 atau BP7 Pusat dan  Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk  pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring  dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi  baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu  maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak  dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap  tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan  berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan  demokrasi di Indonesia. Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan  semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan  MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan  Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan  Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk penataran P-4 telah  dibekukan, dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi dilikuidasi.
Kini  tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam  bentuk pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar  pendidikan non formal, yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan  kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersikap, dan  bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang  pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di  Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan  demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat  mendesak.Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual  sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena  memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan  belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik. Paradigma  pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum  sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk  merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam  masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah,  atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau  sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain  tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai akibatnya, program  pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan  di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik  dan sinergistik. 
1.2. Perumusan Masalah 
Pendidikan  Pancasila dan Kewarganegaraan dirasakan: rentan terhadap pengaruh  perubahan dalam kehidupan politik, tidakajek dalam sistem kurikulum dan  pembelajarannya; pendidikan gurunya yang cenderung terlalu memihak pada  tuntutan formal-kurikuler di sekolah dan kurang memperhatikan  pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai bidang kajian pendidikan  disiplin ilmu, epistemologi pendidikan kewarganegaraan tidak berkembang  dengan pesat; pembelajaran sosial nilai Pancasila yang cenderung  berubah peran dan fungsi menjadi proses indoktrinasi ideologi negara,  tidak kokohnya dan tidak koherennya landasan ilmiah pendidikan  kewarganegaraan sebagai program pendidikan demokrasi.
2.) Kajian Literatur
Ada  beberapa konsep yang dikaji, yakni jatidiri, pendidikan  kewarganegaraan, wahana sistemik, dan pendidikan demokrasi. Istilah  jatidiri diadaptasi dari characteristic dalam bahasa Inggris, yang  memiliki sinonim paling dekat dengan individuality, specialty,  attribute, feature, character (Devlin:1961), yang dapat diartikan secara  bebas sebagai ciri khas atau atribut. Dalam artikel ini jatidiri  dimaksudkan sebagai ciri khas atau atribut konseptual dan empirik dari  pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi.  Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan  menjadi pendidikan kewargnegaraan yakni civic education dan citizenship  Education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the  foundational course work in school designed to prepare young citizens  for an active role in their communities in their adult lives". Atau  suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan  warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam  masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for  citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki  pengertian yang lebih luas yang mencakup "...both these in-school  experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning  which takes place in the family, the religious organization, community  organizations, the media,etc which help to shape the totality of the  citizen".
Dalam  tulisan ini istilah pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya digunakan  dalam pengertian yang luas seperti "citizenship education" atau  "education for citizenship" yang mencakup pendidikan kewarganegaraan di  dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam  program pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program  penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai  dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses  pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas  dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan  digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan  sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan  demokrasi.Kata sistem diserap dari Bahasa Inggris system, yang secara  harfiah artinya "susunan" (Echols dan Shadily,1975:575). Sedangkan  menurut Hornby, Gatenby, dan Wakefield  (1962:1024) system diartikan sebagai group of things or parts working  together in a regular relation atau kelompok benda-benda atau hal-hal  atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam suatu hubungan yang teratur.  Pengertian yang lebih lengkap tentang sistem diberikan oleh Rahmat  (1995:336) sebagai berikut:
1).  Gabungan hal-hal yang disatukan kedalam sebuah kesatuan yang konsisten  dengan kesalinghubungan (interaksi, interdependensi, interrelasi) yang  teratur dari bagian-bagiannya.
2).  Gabungan hal-hal (obyek-obyek, ide-ide, kaidah-kaidah,  aksioma-aksioma,dll) yang disusun dalam sebuah aturan yang koheren  (subordinasi, atau inferensi, atau generalisasi,dll) menurut beberapa  prinsip (atau rencana, atau rancangan, atau metode) rasional atau yang  dapat dipahami" Dalam pengertian seperti dikutip itulah penulis  mengartikan sistem. Selanjutnya, yang dimaksud dengan konteks keilmuan  adalah keterpaduan dari unsur-unsur kerangka konseptual pendidikan  kewarganegaraan dalam arti luas. Konsep keterpaduan itu sendiri  merupakan terjemahan dari istilah integrated, seperti dalam konsep  integrated social studies (Dufty:1970, Taba:1971), yang kemudian  diterjemahkan menjadi IPS Terpadu. Dengan merujuk kepada pengertian  masing-masing istilah seperti telah dibahas di muka dan konsep  keterpaduan pengetahuan atau integrated knowledge system menurut  Hartoonian (1992), maka konsep kerangka konseptual konteks keilmuan yang  digunakan diartikan sebagai tatanan pengetahuan yang terstruktur secara  paradigmatik, yang obyek telaahnya disikapi sebagai suatu kesatuan  garis berpikir dan metode kerjanya bersifat sistemik (kesatuan yang  bersifat multidimensional) dan kemanfaatannya menyangkut banyak hal yang  satu sama lain saling berkaitan.Pendidikan demokrasi yang kini dengan  tegas diterima sebagai esensi pendidikan kewarganegaraan (CICED:1999),  dalam Kurikulum 1994 merupakan bagian integral dari Pendidikan Pancasila  dan Kewarganegaraan yang dibingkai menjadi satu dengan nilai-nilai  masing-masing sila sebagai intinya dalam kedudukan yang setara dan  interaktif. Dengan paradigma yang ada itu maka secara substantif di  dalam pendidikan kewarganegaraan terkandung makna pendidikan Pancasila,  dalam arti berlandaskan dan berorientasi pada cita-cita dan nilai yang  secara koheren dan sistemik terkandung dalam Pancasila. Dewasa ini  tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan pendidikan kewarganegaraan  sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi, sebagaimana  telah menjadi salah satu kesimpulan dari Conference on Civic Education  for Civil Society (CICED:1999). Berkaitan dengan hal itu Sudarsono  (1999) menegaskan bahwa “the ideals and values of democracy and their  implementations in daily activities at micro as well as macro levels can  be regarded as the heart of civil society”. Oleh karena itu, lebih  lanjut ditekankan bahwa “...democratic living should be fostered in  order that we should be able to establish a good Indonnesian civil  society”, dan untuk itulah, ditegaskan lebih jauh lagi bahwa “... the  existing civic education both for schools and for society should be  reassessed and redesigned”. (Sudarsono:1999). Dari situ dengan tegas  tampak adanya kecenderungan yang kuat untuk menempatkan pendidikan  demokrasi sebagai intinya dari pendidikan kewarganegaraan. Dengan  menggunakan kerangka berpikir itu, maka konsep pendidikan demokrasi  diartikan sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan  upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan cita-cita, nilai,  prinsip, dan pola prilaku demokrasi dalam diri individu warganegara,  dalam tatanan iklim yang demokratis, sehingga pada giliranya kelak  secara bersama-sama dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya  masyarakat madani Indonesia yang demokratis. Paradigma ini dijiwai oleh  ethos baru pendidikan demokrasi “eduction about democracy, through  democracy, and for democracy” (CIVITAS International,1998; QCA;1999;  CICED;1999; dan APCEC:2000; IEA-CEP;2000).
3.) Metodologi
3.1. Obyek Telaah
Obyek  telaah ada dua hal: (1) Pemikiran tentang social studies, citizenship  education, civic education secara umum dan pendidikan kewarganegaraan  serta pendidikan ilmu pengetahuan sosial secara khusus, (2)Praksis  penyelenggaraan social studies, citizenship education, civic education  secara umum; pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan di LPTK secara  khusus; dan dalam site of citizenship di negara lain dan di Indonesia.
3.2. Pendekatan Dan Metode 
Sesuai  Dengan Hakikat Dan Karakteristik Obyek TelaahnyaPada dasarnya  penelitian itu diterapkan pendekatan eklektrik, yakni kombinasi  pendekatan kualitatif (utama) dan kuantitatif (pendukung), yang dikemas  dalam suatu survey khusus untuk secara kualitatif menggali, mengkaji,  memilih, dan mengorganisasikan berbagai pemikiran dan praksis  citizenship education, civic education, social studies secara umum, dan  pendidikan IPS dan PPKn secara khusus, beserta konteksnya, yang telah  terdokumentasikan. Untuk mendapatkan data dan informasi digunakan teknik  Studi Dokumentasi, Komunikasi interpersonal melalui diskusi (focus  discussion).
3.3. Asumsi Dan Pertanyaan Penelitian 
Penelitian ini bertolak dari beberapa a sumsi sebagai berikut :
(1)  Belum adanya paradigma yang utuh tentang pendidikan kewarganegaraan  yang dapat dijadikan kerangka dasar dan sekaligus sebagai rujukan  konseptual dan operasional bagi semua bentuk program tersebut.
(2)  Kini telah tumbuh kesadaran, semangat dan komitment untuk menemukan  kembali dan merevitalisasi pendidikan kewarganegaraan sebagai sistem  pendidikan demokrasi. Dalam penelitian itu dirumuskan pertanyaan  penelitian. Bagaimana profil konseptual sistemik pendidikan  kewarganegaraan dilihat dari berbagai pemikiran para teoritisi dan  persepsi praktisi pendidikanm kewarganegaraan?
4. Hasil Dan Bahasan
4.1. Istilah Teknis
Ada  tiga istilah teknis yang banyak digunakan, yakni civics, civic  education, dan citizenship education. Istilah civics merupakan istilah  yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh Chreshore pada  tahun 1886 dalam Somantri (1969) untuk menunjukkan the science of  citizenship yang isinya antara lain mempelajari hubungan  antarwarganegara dan hubungan antara warganegara dengan negara. Saat ini  istilah itu masih dipakai sebagai nama mata pelajaran yang berdiri  sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan  Singapura; dan dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia,  Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura, Spanyol, dan USA  (Kerr,1999). Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam  kurikulum SMP dan SMA tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum  PPSP IKIP Bandung tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA  diperkenalkan istilah citizenship education dan civic education yang  digunakan secara bertukar-pakai, untuk menunjukkan program pendidikan  karakter, etika dan kebajikan (Best:1960) atau pengembangan fungsi dan  peran politik dari warganegara dan pengembangan kualitas pribadi  (Somantri 1969).
Sedangkan  Allen (1960) dan NCSS (Somantri:1972) menggunakan istilah citizenship  education dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai produk keseluruhan  program pendidikan atau all positive influences yang datang dari proses  pendidikan formal dan informal. Kini istilah civic education lebih  banyak digunakan di USA serta beberapa negara baru di Eropa timur yang  mendapat pembinaan profesional dari Center for Civic Education dan  Universitas mitra kerjanya di USA, untuk menunjukkan suatu program  pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu mata pelajaran yang  berdiri sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih  dipakai untuk label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan  nama LSM Center  for Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung  digunakan secara spesifik sebagai mata pelajaran dalam konteks  pendidikan formal. Sedangkan istilah citizenship education cenderung  digunakan dalam dua pengertian. Pertama, digunakan di UK dalam  pengertian yang lebih luas sebagai overarching concept yang di dalamnya  termasuk civic education sebagai unsur utama (Cogan,1999; Kerr: 1999;  dan QCA:1999) disamping program pendidikaan kewarganegaraan di luar  pendidikan formal seperti site of citizenship atau situs  kewarganegaraan, seperti juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh  (1962) dan NCSS (1972). Kedua, digunakan di USA,  terutama oleh NCSS, dalam pengertian sebagai the essence or core atau  inti dari social studies (Barr dkk:1978; NCSS:1985;1994). Di Indonesia  istilah citizenship education belum pernah digunakan dalam tataran  formal instrumentasi pendidikan, kecuali sebagai wacana akademis di  kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Yang konsisten menggunakan  istilah citizenship education atau education for citizenship adalah UK. Sedangkan negara lain yang diketahui menggunakannya secara adaptif adalah Netherlands.  Sebagai batasan penulis menerjemahkan civic education dan citizenship  education ke dalam istilah yang sama namun berbeda dalam cara  penulisannya.
Istilah  civic education diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan  (memakai huruf besar di awal) dan citizenship education diterjemahkan  menjadi pendidikan kewarganegaraan (semuanya dengan huruf kecil).  Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada suatu mata  pelajaran, sedangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada  kerangka konseptual sistemik program pendidikan untuk kewarganegaraan  yang demokratis. Konsep pendidikan kewarganegaraan disebut juga sistem  pendidikan kewarganegaraan (spkn/SPKn) yang dapat ditulis dengan  semuanya huruf besar atau huruf kecil.
4.2. Visi Secara Paradigmatik
Citizenship  education memiliki visi sosio-pedagogis mendidik warganegara ang  demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks  pendidikan formal dan pendidikan non-formal, seperti yang secara  konsisten diterapkan di UK  (QCA:1998; Kerr:1999). dangkan civic education secara umum memiliki  visi formal-pedagogis untuk mendidik arganegara yang demokratis dalam  konteks pendidikan formal, seperti secara adaptif diterapkan di USA (CCE:1996). i Indonesia,  yakni PPKn memiliki visi formal-pedagogis sebagai mata pelajaran sosial  di sekolah dan perguruan tinggi sebagai wahana pendidikan nilai  Pancasila.Bertolak dari kajian teoritik dan diskusi reflektif,  dirumuskan visi pendidikan kewarganegaraan” dalam arti luas, yakni  sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan agar berfungsi dan berperan  sebagai :
(1) Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal,
(2) Program aksi sosial-kultural dalam konteks kemasyarakatan, dan
(3) Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial.
Visi ini mengandung dua dimensi, yakni :
(1) Dimensi substantif berupa muatan pembelajaran(content and learning experiences) dan obyek telaah serta obyek pengembangan.
(2) Dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran (aspek epistemologi dan aksiologi).
Khusus  dalam visinya sebagai bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan  secara epistemologis merupakan synthetic discipline (Somantri:1998) atau  integrated knowledge system (Hartoonian:1992), atau cross-disciplinary  study (Hahn dan Torney-Purta:1999), atau kajian multidimensional  (Derricott dan Cogan:1998). Penulis menempatkan pendidikan  kewarganegaraan atau sistem pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian  lintas-bidang keilmuan, yang secara substantif ditopang terutama oleh  ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial, serta humaniora, dan secara pedagogis  diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat. Secara  filosofik tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaran ini dilandasi oleh  tilikan reconstructed philosophy of education yang secara adaptif  mengakomodasikan tilikan filsafat pendidikan perennialism, essentialism,  progressivism, dan recontructionism (Brameld:1965). Pendidikan  kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang keilmuan ini  pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin  (Dufty,1970 ; Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a  body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to  knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem nilai  (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat  deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari  pandangan Kuhn (1970) secara paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan  baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat  menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai  penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah  “pendidikan kewarganegaraan” sehingga dapat melewati proses artikulasi  sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin  yang matured. 
4.3. Missi
Secara  konseptual “pendidikan kewarganegaraan” atau citizenship education  merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang  bersifat “lintas-bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik, yang  secara paradigmatik memiliki saling-keterpautan yang bersifat  komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan  (Winataputra:1978, Barr dkk:1978, Welton dan Mallan:1988, NCSS:1985,  1994, Somantri:1993). Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak  terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara  keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama pada ilmu  politik dan sejarah; (b) salah satu dimensi dari social studies adalah  citizenship education (NCSS:1994, CICED:1998), khususnya dalam upaya  pengembangan intelligent social actor (Banks:1977, NCSS:1994).Dalam  konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi  masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka  pendidikan kewarganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis,  sosio-kultural, dan substantif-akademis.
Missi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan Tuhan dan makluk sosial menjadi warganegara Indonesia  yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Missi  sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem  kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam koteks  pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi  warganegara secara cerdas dan bertanggungjawab melalui berbagai  kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada tumbuh dan  berkembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan. Sedangkan missi  substantif-akademis adalah mengembangkan struktur atau tubuh  pengetahuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya konsep,  prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic  virtue atau kebajikan kewarganegaraan dan civic culture atau budaya  kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi  epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan  sosio-kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya itu (fungsi  aksiologis). Perwujudan ketiga missi tersebut akan memfasilitasi  pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai proto science menjadi  disiplin baru dan dalam waktu bersamaan secara sinergistik akan dapat  meningkatkan kualitas isi dan proses pendidikan kewarganegaraan sebagai  program kurikuler pendidikan demokrasi dan kegiatan sosio-kultural dalam  koteks makro pendidikan nasional.
4.4. Strategi
Secara  konseptual-paradigmatik citizenship education saat ini mengembangkan  strategi dasar learning democracy, in democracy, and for democracy  (CIVITAS International:1998; QCA:1999; APCEC;2000). Kemudian strategi  dasar ini oleh QCA(1999) dikonsepsikan sebagai suatu kontinum education  about citizenship—education through citizenship—education for  citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik Minimal  (education about citizenship) ke titik Maksimal (education for  citizenship). Pendidikan kewargnegaraan di Indonesia  yang dalam konteks internasional (Kerr:1999) dikategorikan kedalam  kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik  Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan  strategi progresif menuju titik Maksimal, yakni education for  citizenship melalui titik median education through citizenship. Untuk  itu pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu academic endeavor  (CICED:1999) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan  disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang  civic virtue dan civic culture (Quigley:1991) atau keberadaban dan  budaya kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic intelligence dan  civic participation (Quigley:1991, Cogan:1999). Pendidikan  Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di sekolah atau luar  sekolah/di perguruan tinggi di Indonesia,  kedudukannya sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang berdiri sendiri  perlu terus dimantapkan di semua jenjang pendidikan, agar proses  education about citizenship terwadahi secara sistimatik dan berbobot.
Pertimbangan  tersebut juga dimaksudkan bahwa secara perlahan tetapi pasti, melalui  pemantapan mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan  penciptaan kehidupan sosila-kultural sekolah/ kampus yang demokratis,  taat hukum, religius dan berkeadaban, dapat dijalanai koridor  sosial-kultural menuju proses education for citizenship (konsep  sekolah/kampus sebagai laboratory for democracy. Dengan cara itu, pada  saatnya nanti, para lulusan lembaga pendidikan formal mampu menampilkan  dirinya sebagai demokrat muda yang taat hukum, religius dan berkeadaban  dalam berbagai konteks kehidupan yang dijalaninya. Namun demikian khusus  dalam konteks pendidikan usia dini, yakni di taman kanak-kanak dan  sekolah dasar kelas rendah (1-3), karena perkembangan psikososial siswa  yang berada pada tarap kognitif concrete operation menuju  formal-operation (Piaget:1960) dan moralita pre-conventional morality  yang didominasi oleh punishment and obedience orientation meningkat ke  good boy and nice girl orientation menuju instrumental relativist  orientation (Kohlberg:1975), yang memerlukan keterpaduan dan  kebermaknaan belajar dalam suasana yang otentik atau hands-on  experience, pendidikan kewarganegaraan dapat diintegrasikan ke dalam  mata pelajaran lain yang relevan dengan pendekatan cross-curriculum,  khususnya dalam pendidikan IPS, Bahasa dan kesenian, seperti mata  pelajaran Personal, Social, and Health Education (PSHE) di sekolah dasar  di UK, Life Orientation di Afrika Selatan dan Social Studies di negara  lainnya.Sebagai suatu bidang kajian pendidikan disiplin ilmu,  sebagaimana juga citizenship education, pendidikan kewarganegaraan  diyakini secara konseptual memiliki sifat multidimensional dalam aspek  ontologis-obyek telaahnya, aspek epistemologis-metode penelitian dan  pengembangannya, dan aspek aksiologis-kemanfaatannya bagi dunia  pendidikan (Cogan:1996, 1999, CICED:1999). Sifat-sifat itulah yang  mengikat ketiga dimensi pendidikan kewarganegaraan dalam suatu paradigma  yang utuh. Oleh karena itulah pendidikan kewarganegaraan dapat disikapi  dan diterima sebagai suatu wahana sistemik atau integrated knowledge  system atau synthetic discipline dalam tataran filosofik dan konseptual  pendidikan disiplin ilmu. Jiwa dari paradigma ini diharapkan lebih  menitikberatkan pada kearifan intuitif yang beorientasi eco-action dan  bersifat responsif, konsolidatif, dan kooperatif daripada kekuatan  rasionalitas yang beorientasi ego-action dan bersifat agresif,  ekspansif, dan kompetitif (Capra:1998). Dalam rangka pengembangan sistem  pendidikan kewarganegaraan dirumuskan strategi: (1) penegasan kedudukan  dan hubungan fungsional-interaktif antar ketiga sub-sistem pendidikan  kewarganegaraan (kajian ilmiah, program kurikuler, dan kegiatan  sosio-kultural) dan peran interaktif terhadap kompetensi  kewarganegaraan; (2) pemanfaatan secara adaptif-fungsional dari  sumber-sumber konseptual dan empirik di luar entitas sistem pendidikan  kewarganegaraan.
Sebagai  suatu domain kajian pendidikan ilmu, pendidikan kewarganegaraan  memerlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai sarana institusional yang  memfasilitasi pengembangan epistemologi dan perwujudan aksiologi  kedisiplinannya, dan komunitas ilmiah yang berperan sebagai kelompok  pemikir wacana akademisnya dan pengembang sarana programatiknya. Oleh  karena itu, kedudukan jurusan atau program studi Pendidikan  Kewarganegaraan di perguruan tinggi perlu dimantapkan bukan semata-mata  sebagai lembaga penghasil tenaga kependidikan kewarganegaraan, tetapi  juga sebagai penghasil dan pengembang aspek-aspek epistemologi, seperti  nilai, konsep, prinsip, dan metode serta aneka ragam program  instruksional kewarganegaraan. Dalam konnteks itu maka selain program  profesional tingkat diploma dan S1, di perguruan tinggi sudah saatnya  mulai dikembangkan program akademik S2 dan S3 pendidikan  kewarganegaraan. 
4.5. Aspek Ontologis Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan 
Kewarganegaraan  memiliki dua dimensi ontologi, yakni obyek telaah dan obyek  pengembangan. Yang dimaksud dengan obyek telaah adalah keseluruhan aspek  idiil, instrumental, dan praksis pendidikan kewarganegaraan yang secara  internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PPKn  di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kutural  kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek  pengembangan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik,  yakni ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik yang menyangkut  status, hak, dan kewajibannya sebagai warganegara, yang perlu  dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas  warganegara yang “cerdas, dan baik, dalam arti demokratis, religius, dan  berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan  bernegara.
4.6. Aspek Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan 
Aspek  epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek  ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis,  yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis  dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan  kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada obyek telaah dan obyek  pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan  mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi  penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui: (1)  metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan  generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi, dan (2) metode  penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap  fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Sedangkan, metodologi  pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan  rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek  sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai  unsur instrumental dan kontekstual pendidikan.
Tercatat  berbagai kegiatan epistemologis penelitian, pengembangan, dan  penelitian dan pengembangan. Yang khusus merupakan kegiatan penelitian  antara lain yang dilakukan oleh Capra (1998) tentang titik balik  peradaban; Sanusi (1998) tentang 10 pilar demokrasi Indonesia;  Bahmueller (1996) tentang perkembangan demokrasi; Welzer (1999) tentang  konsep civil society; Gandal dan Finn (1992) tentang education for  democracy; Barr, Bart, dan Shermis (1977) tentang konsep social studies;  Remmers dan Radles (1960 dalam Shaver 1991) tentang kesadaran politik  dan hukum peserta didik; Stanley (1985) tentang perkembangan social  studies; Shaver (1991) tentang penelitian dan pembelajaran social  studies; Winataputra (1978) tentang pelaksanaan kurikulum PMP, CERP  (1972) tentang pemikiran mengenai pendidikan IPS dan kewarganegaraan;  Cogan (1996) tentang multidimensional citizenship education, ETS (1991)  tentang efektivitas program We the People … The Citizens and  Constitution; Tolo dkk (1998) tentang efektifitas program We the People…  Project Citizens; Djahiri dkk (1998) tentang profil kurikulum dan  pembelajaran PPKN 1994, dan CICED (1999 dan 2000) tentang konsep civic  education for civil society dan tentang the needs for new Indonesian  civic education”.
Yang  bersifat pengembangan kurikulum dan pembelajaran, tercatat antara lain  yang dilakukan oleh: Wesley (1937 dalam Barr dkk:1977) tentang definisi  awal social studies; Engle (1960 dalam Somantri 1993) tentang decision  making dalam social science instruction ; Hanna(1960) tentang  pengembangan social studies berdasarkan basic human activities ; Taba  dkk (1970) tentang pendekatan spiral of concept development dalam  socialstudies; NCSS (1983) tentang scope and sequence dalam social  studies; NCSS (1989) tentang paradigma social studies untuk abad 21;  NCSS (1994) tentang standards for social studies; Dunn (1915 dalam  Somantri:1969) tentang new civics ; CCE (1991) tentang dokumen akademis  CIVITAS: A Framework for Civic Education ; CCE (1997) tentang Paket  Belajar We the People … The Citizens and Constitution ; We the People…  Project Citizen; Law in a Free Society Series; Foundations of Democracy;  CCE (1998) tentang Paket Belajar Exercise in Participation. Sedangkan  di Indonesia, yang termasuk kegiatan pengembangan antara lain yang  dilakukan oleh: PPSP IKIP Bandung (1973) tentang kurikulum IPS/PKN,  Depdikbud (1974) tentang kurikulum IPS dan PMP 1975, Depdikbud (1983)  tentang penyempurnaan kurikulum PMP, Depdikbud (1993) tentang kurikulum  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Depdikbud (1999)  tentang pengembangan suplemen dan petunjuk teknis PPKn untuk masa  transisi; CICED (1999) tentang civic education content mapping. Yang  termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan antara lain yang dilakukan  oleh: Bruner (1967) mengenai model proyek pembelajaran Man: A Course of  Study di Amerika Serikat; dan Stenhouse (1975) mengenai humanities  curriculum project di Inggris.
4.7. Aspek Aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan 
Yang  termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah  berbagai manfaat dari hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang  kajianpendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai, bagi dunia  pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan dan pendidikan tenaga  kependidikan.Hasil-hasil penelitian dan pengembangan social studies,  citizenship education dan civic education” dalam dunia persekolahan  banyak memberi manfaat dalam merancang program pendidikan guru,  meningkatkan kualitas kemampuan guru, meningkatkan kualitas proses  pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan sumber belajar, dan  meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan.
5. Kesimpulan
(1)  Pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu tubuh atau sistem  pengetahuan yang memiliki: (a) ontologi civic behavior dan civic culture  yang bersifat multidimensional (filosofis, ilmiah, kurikuler, dan  sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion  dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, prilaku  dan konteks sosial kultural warganegara, serta komunikasi akademis,  kurikuler, dan sosial dalam rangka penerapan hasil kajian ilmiah dan  pengembangan kurikuler dan instruksional dalam praksis pendidikan  demokrasi untuk warganegara di sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi  untuk memfasilitasi pengembangan body of knowledge sistem pengetahuan  atau disiplin pendidikan kewarganegaraan; melandasi dan memfasilitasi  pengembangan dan pelaksanaan pendidikan demokrasi di sekolah dan luar  sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya koridor proses  demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat.
(2)  Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan memiliki tiga  komponen, yakni : (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b)  program kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan; dan (c) gerakan  sosial-kultural kewarganegaraan, yang secara koheren bertolak dari  esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan,  nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan.
(3)  Secara kontekstual logika internal dan dinamika eksternal sistem  pendidikan kewarganegaraan dipengaruhi oleh aspek-aspek pengetahuan  intraseptif berupa Agama dan Pancasila; pengetahuan ekstraseptif ilmu,  teknologi, dan seni; cita-cita, Nilai, konsep, prinsip, dan praksis  demokrasi; masalah-masalah kontemporer Indonesia; kecenderungan dan  masalah globalisasi; dan kristalisasi civic virtue dan civic culture  untuk masyarakat madani Indonesia-masyarakat negara kebangsaan Indonesia  yang berdemokrasi konstitusional.
(4)  Aspek esensial yang menjadi faktor perekat (integrating forces) dari  ketiga komponen sistem pendidikan kewarganegaraan sehingga membentuk  suatu kerangka paradigmatik yang koheren adalah konsep warganegara yang  cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius yang  dikristalisasikan menjadi 90 butir perangkat kompetensi kewarganegaraan  (pengetahuan kewarganegaraan, ahlak/sikap kewarganegaraan, dan  keterampilan kewarganegaraan) yang berkembang secara dinamis.
 Langgan: Poskan Komentar (Atom) 
selamat datang
 blog ini hanya menyajikan berbagai tugas pribadi saya,,, jika anda  berkenaan maka diharapkan untuk memberi komentar agar menjadikan koreksi  bagi saya,,, dan semoga blog ini juga bermanfaat bagi yang mau untuk  mengambil manfaat dari blog ini. 
    
      
  
 

















 
  Post
 Post  
  
  
  
  
1 komentar:
Link ke posting ini