SELALU SEMANGAT WALAUPUN RINTANGAN MENGHADANG

Kamis, 24 Maret 2011

PKN

Sabtu, 12 Juli 2008

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMIK PENDIDIKAN DEMOKRASI

PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI WAHANA SISTEMATIK PENDIDIKAN DEMOKRASI
1.) Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS.
Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaran, bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945.
Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK. Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cenderung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan perhatian. Dalam status keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4 mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4 atau BP7 Pusat dan Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi dilikuidasi.
Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai akibatnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.
1.2. Perumusan Masalah
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dirasakan: rentan terhadap pengaruh perubahan dalam kehidupan politik, tidakajek dalam sistem kurikulum dan pembelajarannya; pendidikan gurunya yang cenderung terlalu memihak pada tuntutan formal-kurikuler di sekolah dan kurang memperhatikan pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai bidang kajian pendidikan disiplin ilmu, epistemologi pendidikan kewarganegaraan tidak berkembang dengan pesat; pembelajaran sosial nilai Pancasila yang cenderung berubah peran dan fungsi menjadi proses indoktrinasi ideologi negara, tidak kokohnya dan tidak koherennya landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan sebagai program pendidikan demokrasi.
2.) Kajian Literatur
Ada beberapa konsep yang dikaji, yakni jatidiri, pendidikan kewarganegaraan, wahana sistemik, dan pendidikan demokrasi. Istilah jatidiri diadaptasi dari characteristic dalam bahasa Inggris, yang memiliki sinonim paling dekat dengan individuality, specialty, attribute, feature, character (Devlin:1961), yang dapat diartikan secara bebas sebagai ciri khas atau atribut. Dalam artikel ini jatidiri dimaksudkan sebagai ciri khas atau atribut konseptual dan empirik dari pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi. Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewargnegaraan yakni civic education dan citizenship Education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup "...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen".
Dalam tulisan ini istilah pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam pengertian yang luas seperti "citizenship education" atau "education for citizenship" yang mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.Kata sistem diserap dari Bahasa Inggris system, yang secara harfiah artinya "susunan" (Echols dan Shadily,1975:575). Sedangkan menurut Hornby, Gatenby, dan Wakefield (1962:1024) system diartikan sebagai group of things or parts working together in a regular relation atau kelompok benda-benda atau hal-hal atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam suatu hubungan yang teratur. Pengertian yang lebih lengkap tentang sistem diberikan oleh Rahmat (1995:336) sebagai berikut:
1). Gabungan hal-hal yang disatukan kedalam sebuah kesatuan yang konsisten dengan kesalinghubungan (interaksi, interdependensi, interrelasi) yang teratur dari bagian-bagiannya.
2). Gabungan hal-hal (obyek-obyek, ide-ide, kaidah-kaidah, aksioma-aksioma,dll) yang disusun dalam sebuah aturan yang koheren (subordinasi, atau inferensi, atau generalisasi,dll) menurut beberapa prinsip (atau rencana, atau rancangan, atau metode) rasional atau yang dapat dipahami" Dalam pengertian seperti dikutip itulah penulis mengartikan sistem. Selanjutnya, yang dimaksud dengan konteks keilmuan adalah keterpaduan dari unsur-unsur kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas. Konsep keterpaduan itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah integrated, seperti dalam konsep integrated social studies (Dufty:1970, Taba:1971), yang kemudian diterjemahkan menjadi IPS Terpadu. Dengan merujuk kepada pengertian masing-masing istilah seperti telah dibahas di muka dan konsep keterpaduan pengetahuan atau integrated knowledge system menurut Hartoonian (1992), maka konsep kerangka konseptual konteks keilmuan yang digunakan diartikan sebagai tatanan pengetahuan yang terstruktur secara paradigmatik, yang obyek telaahnya disikapi sebagai suatu kesatuan garis berpikir dan metode kerjanya bersifat sistemik (kesatuan yang bersifat multidimensional) dan kemanfaatannya menyangkut banyak hal yang satu sama lain saling berkaitan.Pendidikan demokrasi yang kini dengan tegas diterima sebagai esensi pendidikan kewarganegaraan (CICED:1999), dalam Kurikulum 1994 merupakan bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang dibingkai menjadi satu dengan nilai-nilai masing-masing sila sebagai intinya dalam kedudukan yang setara dan interaktif. Dengan paradigma yang ada itu maka secara substantif di dalam pendidikan kewarganegaraan terkandung makna pendidikan Pancasila, dalam arti berlandaskan dan berorientasi pada cita-cita dan nilai yang secara koheren dan sistemik terkandung dalam Pancasila. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi, sebagaimana telah menjadi salah satu kesimpulan dari Conference on Civic Education for Civil Society (CICED:1999). Berkaitan dengan hal itu Sudarsono (1999) menegaskan bahwa “the ideals and values of democracy and their implementations in daily activities at micro as well as macro levels can be regarded as the heart of civil society”. Oleh karena itu, lebih lanjut ditekankan bahwa “...democratic living should be fostered in order that we should be able to establish a good Indonnesian civil society”, dan untuk itulah, ditegaskan lebih jauh lagi bahwa “... the existing civic education both for schools and for society should be reassessed and redesigned”. (Sudarsono:1999). Dari situ dengan tegas tampak adanya kecenderungan yang kuat untuk menempatkan pendidikan demokrasi sebagai intinya dari pendidikan kewarganegaraan. Dengan menggunakan kerangka berpikir itu, maka konsep pendidikan demokrasi diartikan sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan cita-cita, nilai, prinsip, dan pola prilaku demokrasi dalam diri individu warganegara, dalam tatanan iklim yang demokratis, sehingga pada giliranya kelak secara bersama-sama dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani Indonesia yang demokratis. Paradigma ini dijiwai oleh ethos baru pendidikan demokrasi “eduction about democracy, through democracy, and for democracy” (CIVITAS International,1998; QCA;1999; CICED;1999; dan APCEC:2000; IEA-CEP;2000).
3.) Metodologi
3.1. Obyek Telaah
Obyek telaah ada dua hal: (1) Pemikiran tentang social studies, citizenship education, civic education secara umum dan pendidikan kewarganegaraan serta pendidikan ilmu pengetahuan sosial secara khusus, (2)Praksis penyelenggaraan social studies, citizenship education, civic education secara umum; pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan di LPTK secara khusus; dan dalam site of citizenship di negara lain dan di Indonesia.
3.2. Pendekatan Dan Metode
Sesuai Dengan Hakikat Dan Karakteristik Obyek TelaahnyaPada dasarnya penelitian itu diterapkan pendekatan eklektrik, yakni kombinasi pendekatan kualitatif (utama) dan kuantitatif (pendukung), yang dikemas dalam suatu survey khusus untuk secara kualitatif menggali, mengkaji, memilih, dan mengorganisasikan berbagai pemikiran dan praksis citizenship education, civic education, social studies secara umum, dan pendidikan IPS dan PPKn secara khusus, beserta konteksnya, yang telah terdokumentasikan. Untuk mendapatkan data dan informasi digunakan teknik Studi Dokumentasi, Komunikasi interpersonal melalui diskusi (focus discussion).
3.3. Asumsi Dan Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bertolak dari beberapa a sumsi sebagai berikut :
(1) Belum adanya paradigma yang utuh tentang pendidikan kewarganegaraan yang dapat dijadikan kerangka dasar dan sekaligus sebagai rujukan konseptual dan operasional bagi semua bentuk program tersebut.
(2) Kini telah tumbuh kesadaran, semangat dan komitment untuk menemukan kembali dan merevitalisasi pendidikan kewarganegaraan sebagai sistem pendidikan demokrasi. Dalam penelitian itu dirumuskan pertanyaan penelitian. Bagaimana profil konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan dilihat dari berbagai pemikiran para teoritisi dan persepsi praktisi pendidikanm kewarganegaraan?
4. Hasil Dan Bahasan
4.1. Istilah Teknis
Ada tiga istilah teknis yang banyak digunakan, yakni civics, civic education, dan citizenship education. Istilah civics merupakan istilah yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri (1969) untuk menunjukkan the science of citizenship yang isinya antara lain mempelajari hubungan antarwarganegara dan hubungan antara warganegara dengan negara. Saat ini istilah itu masih dipakai sebagai nama mata pelajaran yang berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura, Spanyol, dan USA (Kerr,1999). Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam kurikulum SMP dan SMA tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum PPSP IKIP Bandung tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA diperkenalkan istilah citizenship education dan civic education yang digunakan secara bertukar-pakai, untuk menunjukkan program pendidikan karakter, etika dan kebajikan (Best:1960) atau pengembangan fungsi dan peran politik dari warganegara dan pengembangan kualitas pribadi (Somantri 1969).
Sedangkan Allen (1960) dan NCSS (Somantri:1972) menggunakan istilah citizenship education dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai produk keseluruhan program pendidikan atau all positive influences yang datang dari proses pendidikan formal dan informal. Kini istilah civic education lebih banyak digunakan di USA serta beberapa negara baru di Eropa timur yang mendapat pembinaan profesional dari Center for Civic Education dan Universitas mitra kerjanya di USA, untuk menunjukkan suatu program pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih dipakai untuk label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan nama LSM Center for Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung digunakan secara spesifik sebagai mata pelajaran dalam konteks pendidikan formal. Sedangkan istilah citizenship education cenderung digunakan dalam dua pengertian. Pertama, digunakan di UK dalam pengertian yang lebih luas sebagai overarching concept yang di dalamnya termasuk civic education sebagai unsur utama (Cogan,1999; Kerr: 1999; dan QCA:1999) disamping program pendidikaan kewarganegaraan di luar pendidikan formal seperti site of citizenship atau situs kewarganegaraan, seperti juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh (1962) dan NCSS (1972). Kedua, digunakan di USA, terutama oleh NCSS, dalam pengertian sebagai the essence or core atau inti dari social studies (Barr dkk:1978; NCSS:1985;1994). Di Indonesia istilah citizenship education belum pernah digunakan dalam tataran formal instrumentasi pendidikan, kecuali sebagai wacana akademis di kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Yang konsisten menggunakan istilah citizenship education atau education for citizenship adalah UK. Sedangkan negara lain yang diketahui menggunakannya secara adaptif adalah Netherlands. Sebagai batasan penulis menerjemahkan civic education dan citizenship education ke dalam istilah yang sama namun berbeda dalam cara penulisannya.
Istilah civic education diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (memakai huruf besar di awal) dan citizenship education diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan (semuanya dengan huruf kecil). Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada suatu mata pelajaran, sedangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada kerangka konseptual sistemik program pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis. Konsep pendidikan kewarganegaraan disebut juga sistem pendidikan kewarganegaraan (spkn/SPKn) yang dapat ditulis dengan semuanya huruf besar atau huruf kecil.
4.2. Visi Secara Paradigmatik
Citizenship education memiliki visi sosio-pedagogis mendidik warganegara ang demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non-formal, seperti yang secara konsisten diterapkan di UK (QCA:1998; Kerr:1999). dangkan civic education secara umum memiliki visi formal-pedagogis untuk mendidik arganegara yang demokratis dalam konteks pendidikan formal, seperti secara adaptif diterapkan di USA (CCE:1996). i Indonesia, yakni PPKn memiliki visi formal-pedagogis sebagai mata pelajaran sosial di sekolah dan perguruan tinggi sebagai wahana pendidikan nilai Pancasila.Bertolak dari kajian teoritik dan diskusi reflektif, dirumuskan visi pendidikan kewarganegaraan” dalam arti luas, yakni sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan agar berfungsi dan berperan sebagai :
(1) Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal,
(2) Program aksi sosial-kultural dalam konteks kemasyarakatan, dan
(3) Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial.
Visi ini mengandung dua dimensi, yakni :
(1) Dimensi substantif berupa muatan pembelajaran(content and learning experiences) dan obyek telaah serta obyek pengembangan.
(2) Dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran (aspek epistemologi dan aksiologi).
Khusus dalam visinya sebagai bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan secara epistemologis merupakan synthetic discipline (Somantri:1998) atau integrated knowledge system (Hartoonian:1992), atau cross-disciplinary study (Hahn dan Torney-Purta:1999), atau kajian multidimensional (Derricott dan Cogan:1998). Penulis menempatkan pendidikan kewarganegaraan atau sistem pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian lintas-bidang keilmuan, yang secara substantif ditopang terutama oleh ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial, serta humaniora, dan secara pedagogis diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat. Secara filosofik tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaran ini dilandasi oleh tilikan reconstructed philosophy of education yang secara adaptif mengakomodasikan tilikan filsafat pendidikan perennialism, essentialism, progressivism, dan recontructionism (Brameld:1965). Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin (Dufty,1970 ; Somantri:1993) yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem nilai (Somantri:1993). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) secara paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan” sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin yang matured.
4.3. Missi
Secara konseptual “pendidikan kewarganegaraan” atau citizenship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat “lintas-bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling-keterpautan yang bersifat komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan (Winataputra:1978, Barr dkk:1978, Welton dan Mallan:1988, NCSS:1985, 1994, Somantri:1993). Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah; (b) salah satu dimensi dari social studies adalah citizenship education (NCSS:1994, CICED:1998), khususnya dalam upaya pengembangan intelligent social actor (Banks:1977, NCSS:1994).Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis.
Missi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan Tuhan dan makluk sosial menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Missi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam koteks pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warganegara secara cerdas dan bertanggungjawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada tumbuh dan berkembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan. Sedangkan missi substantif-akademis adalah mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebajikan kewarganegaraan dan civic culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya itu (fungsi aksiologis). Perwujudan ketiga missi tersebut akan memfasilitasi pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai proto science menjadi disiplin baru dan dalam waktu bersamaan secara sinergistik akan dapat meningkatkan kualitas isi dan proses pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pendidikan demokrasi dan kegiatan sosio-kultural dalam koteks makro pendidikan nasional.
4.4. Strategi
Secara konseptual-paradigmatik citizenship education saat ini mengembangkan strategi dasar learning democracy, in democracy, and for democracy (CIVITAS International:1998; QCA:1999; APCEC;2000). Kemudian strategi dasar ini oleh QCA(1999) dikonsepsikan sebagai suatu kontinum education about citizenship—education through citizenship—education for citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik Minimal (education about citizenship) ke titik Maksimal (education for citizenship). Pendidikan kewargnegaraan di Indonesia yang dalam konteks internasional (Kerr:1999) dikategorikan kedalam kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik Maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education through citizenship. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu academic endeavor (CICED:1999) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang civic virtue dan civic culture (Quigley:1991) atau keberadaban dan budaya kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic intelligence dan civic participation (Quigley:1991, Cogan:1999). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di sekolah atau luar sekolah/di perguruan tinggi di Indonesia, kedudukannya sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang berdiri sendiri perlu terus dimantapkan di semua jenjang pendidikan, agar proses education about citizenship terwadahi secara sistimatik dan berbobot.
Pertimbangan tersebut juga dimaksudkan bahwa secara perlahan tetapi pasti, melalui pemantapan mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan penciptaan kehidupan sosila-kultural sekolah/ kampus yang demokratis, taat hukum, religius dan berkeadaban, dapat dijalanai koridor sosial-kultural menuju proses education for citizenship (konsep sekolah/kampus sebagai laboratory for democracy. Dengan cara itu, pada saatnya nanti, para lulusan lembaga pendidikan formal mampu menampilkan dirinya sebagai demokrat muda yang taat hukum, religius dan berkeadaban dalam berbagai konteks kehidupan yang dijalaninya. Namun demikian khusus dalam konteks pendidikan usia dini, yakni di taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas rendah (1-3), karena perkembangan psikososial siswa yang berada pada tarap kognitif concrete operation menuju formal-operation (Piaget:1960) dan moralita pre-conventional morality yang didominasi oleh punishment and obedience orientation meningkat ke good boy and nice girl orientation menuju instrumental relativist orientation (Kohlberg:1975), yang memerlukan keterpaduan dan kebermaknaan belajar dalam suasana yang otentik atau hands-on experience, pendidikan kewarganegaraan dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain yang relevan dengan pendekatan cross-curriculum, khususnya dalam pendidikan IPS, Bahasa dan kesenian, seperti mata pelajaran Personal, Social, and Health Education (PSHE) di sekolah dasar di UK, Life Orientation di Afrika Selatan dan Social Studies di negara lainnya.Sebagai suatu bidang kajian pendidikan disiplin ilmu, sebagaimana juga citizenship education, pendidikan kewarganegaraan diyakini secara konseptual memiliki sifat multidimensional dalam aspek ontologis-obyek telaahnya, aspek epistemologis-metode penelitian dan pengembangannya, dan aspek aksiologis-kemanfaatannya bagi dunia pendidikan (Cogan:1996, 1999, CICED:1999). Sifat-sifat itulah yang mengikat ketiga dimensi pendidikan kewarganegaraan dalam suatu paradigma yang utuh. Oleh karena itulah pendidikan kewarganegaraan dapat disikapi dan diterima sebagai suatu wahana sistemik atau integrated knowledge system atau synthetic discipline dalam tataran filosofik dan konseptual pendidikan disiplin ilmu. Jiwa dari paradigma ini diharapkan lebih menitikberatkan pada kearifan intuitif yang beorientasi eco-action dan bersifat responsif, konsolidatif, dan kooperatif daripada kekuatan rasionalitas yang beorientasi ego-action dan bersifat agresif, ekspansif, dan kompetitif (Capra:1998). Dalam rangka pengembangan sistem pendidikan kewarganegaraan dirumuskan strategi: (1) penegasan kedudukan dan hubungan fungsional-interaktif antar ketiga sub-sistem pendidikan kewarganegaraan (kajian ilmiah, program kurikuler, dan kegiatan sosio-kultural) dan peran interaktif terhadap kompetensi kewarganegaraan; (2) pemanfaatan secara adaptif-fungsional dari sumber-sumber konseptual dan empirik di luar entitas sistem pendidikan kewarganegaraan.
Sebagai suatu domain kajian pendidikan ilmu, pendidikan kewarganegaraan memerlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai sarana institusional yang memfasilitasi pengembangan epistemologi dan perwujudan aksiologi kedisiplinannya, dan komunitas ilmiah yang berperan sebagai kelompok pemikir wacana akademisnya dan pengembang sarana programatiknya. Oleh karena itu, kedudukan jurusan atau program studi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi perlu dimantapkan bukan semata-mata sebagai lembaga penghasil tenaga kependidikan kewarganegaraan, tetapi juga sebagai penghasil dan pengembang aspek-aspek epistemologi, seperti nilai, konsep, prinsip, dan metode serta aneka ragam program instruksional kewarganegaraan. Dalam konnteks itu maka selain program profesional tingkat diploma dan S1, di perguruan tinggi sudah saatnya mulai dikembangkan program akademik S2 dan S3 pendidikan kewarganegaraan.
4.5. Aspek Ontologis Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan
Kewarganegaraan memiliki dua dimensi ontologi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan. Yang dimaksud dengan obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis pendidikan kewarganegaraan yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PPKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kutural kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek pengembangan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik yang menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai warganegara, yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warganegara yang “cerdas, dan baik, dalam arti demokratis, religius, dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4.6. Aspek Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan
Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada obyek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui: (1) metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi, dan (2) metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Sedangkan, metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan.
Tercatat berbagai kegiatan epistemologis penelitian, pengembangan, dan penelitian dan pengembangan. Yang khusus merupakan kegiatan penelitian antara lain yang dilakukan oleh Capra (1998) tentang titik balik peradaban; Sanusi (1998) tentang 10 pilar demokrasi Indonesia; Bahmueller (1996) tentang perkembangan demokrasi; Welzer (1999) tentang konsep civil society; Gandal dan Finn (1992) tentang education for democracy; Barr, Bart, dan Shermis (1977) tentang konsep social studies; Remmers dan Radles (1960 dalam Shaver 1991) tentang kesadaran politik dan hukum peserta didik; Stanley (1985) tentang perkembangan social studies; Shaver (1991) tentang penelitian dan pembelajaran social studies; Winataputra (1978) tentang pelaksanaan kurikulum PMP, CERP (1972) tentang pemikiran mengenai pendidikan IPS dan kewarganegaraan; Cogan (1996) tentang multidimensional citizenship education, ETS (1991) tentang efektivitas program We the People … The Citizens and Constitution; Tolo dkk (1998) tentang efektifitas program We the People… Project Citizens; Djahiri dkk (1998) tentang profil kurikulum dan pembelajaran PPKN 1994, dan CICED (1999 dan 2000) tentang konsep civic education for civil society dan tentang the needs for new Indonesian civic education”.
Yang bersifat pengembangan kurikulum dan pembelajaran, tercatat antara lain yang dilakukan oleh: Wesley (1937 dalam Barr dkk:1977) tentang definisi awal social studies; Engle (1960 dalam Somantri 1993) tentang decision making dalam social science instruction ; Hanna(1960) tentang pengembangan social studies berdasarkan basic human activities ; Taba dkk (1970) tentang pendekatan spiral of concept development dalam socialstudies; NCSS (1983) tentang scope and sequence dalam social studies; NCSS (1989) tentang paradigma social studies untuk abad 21; NCSS (1994) tentang standards for social studies; Dunn (1915 dalam Somantri:1969) tentang new civics ; CCE (1991) tentang dokumen akademis CIVITAS: A Framework for Civic Education ; CCE (1997) tentang Paket Belajar We the People … The Citizens and Constitution ; We the People… Project Citizen; Law in a Free Society Series; Foundations of Democracy; CCE (1998) tentang Paket Belajar Exercise in Participation. Sedangkan di Indonesia, yang termasuk kegiatan pengembangan antara lain yang dilakukan oleh: PPSP IKIP Bandung (1973) tentang kurikulum IPS/PKN, Depdikbud (1974) tentang kurikulum IPS dan PMP 1975, Depdikbud (1983) tentang penyempurnaan kurikulum PMP, Depdikbud (1993) tentang kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Depdikbud (1999) tentang pengembangan suplemen dan petunjuk teknis PPKn untuk masa transisi; CICED (1999) tentang civic education content mapping. Yang termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan antara lain yang dilakukan oleh: Bruner (1967) mengenai model proyek pembelajaran Man: A Course of Study di Amerika Serikat; dan Stenhouse (1975) mengenai humanities curriculum project di Inggris.
4.7. Aspek Aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan
Yang termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang kajianpendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai, bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan persekolahan dan pendidikan tenaga kependidikan.Hasil-hasil penelitian dan pengembangan social studies, citizenship education dan civic education” dalam dunia persekolahan banyak memberi manfaat dalam merancang program pendidikan guru, meningkatkan kualitas kemampuan guru, meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan.
5. Kesimpulan
(1) Pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu tubuh atau sistem pengetahuan yang memiliki: (a) ontologi civic behavior dan civic culture yang bersifat multidimensional (filosofis, ilmiah, kurikuler, dan sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, prilaku dan konteks sosial kultural warganegara, serta komunikasi akademis, kurikuler, dan sosial dalam rangka penerapan hasil kajian ilmiah dan pengembangan kurikuler dan instruksional dalam praksis pendidikan demokrasi untuk warganegara di sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi untuk memfasilitasi pengembangan body of knowledge sistem pengetahuan atau disiplin pendidikan kewarganegaraan; melandasi dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan demokrasi di sekolah dan luar sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya koridor proses demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat.
(2) Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan memiliki tiga komponen, yakni : (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, yang secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan.
(3) Secara kontekstual logika internal dan dinamika eksternal sistem pendidikan kewarganegaraan dipengaruhi oleh aspek-aspek pengetahuan intraseptif berupa Agama dan Pancasila; pengetahuan ekstraseptif ilmu, teknologi, dan seni; cita-cita, Nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi; masalah-masalah kontemporer Indonesia; kecenderungan dan masalah globalisasi; dan kristalisasi civic virtue dan civic culture untuk masyarakat madani Indonesia-masyarakat negara kebangsaan Indonesia yang berdemokrasi konstitusional.
(4) Aspek esensial yang menjadi faktor perekat (integrating forces) dari ketiga komponen sistem pendidikan kewarganegaraan sehingga membentuk suatu kerangka paradigmatik yang koheren adalah konsep warganegara yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius yang dikristalisasikan menjadi 90 butir perangkat kompetensi kewarganegaraan (pengetahuan kewarganegaraan, ahlak/sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan) yang berkembang secara dinamis.

1 komentar:


nanda mengatakan...
makassih ya buat artikelnya
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar